Awal Februari 2011, pagi itu perjalanan panjang dimulai. Perasaan saya dan M campur aduk, antara gembira dan waswas. Negara tujuan kami, Kolombia, bukanlah salah satu tujuan populer, entah itu untuk bekerja, berwisata, apalagi menetap, biarpun sementara. Tapi di sinilah kami sekarang, di bandara Kingsford Smith Sydney, sedang bersiap-siap untuk penerbangan lintas benua (Australia ke Amerika Selatan), lintas samudra (Pasifik) dan lintas begitu banyak zona waktu, termasuk melintasi International Date Line di Samudra Pasifik, yang merupakan garis acuan batas tanggal internasional yang menentukan apa yang disebut “kemarin”, “hari ini”, dan “besok”. Saat itu melintasi batas geografi sejauh ini adalah yang pertama kali bagi kami. Dan tak terbersit sama sekali bahwa di kemudian hari kami akan menjalaninya lagi dengan versi yang berbeda.
Itu sebabnya saya menamai profil saya: Crossing Borders (melintasi perbatasan) dan website saya: mrstravelista (nyonya tukang pergi-pergi..) Hehehe…
Perjalanan dari Australia ke Colombia ini menggunakan LAN Airlines, sebuah grup maskapai penerbangan dari benua Amerika Selatan yang berbasis di Santiago, Chile. Penerbangan pertama adalah dari Sydney, Australia ke Auckland, New Zealand selama 3 jam, dan transit di Auckland selama 2 jam. Pada saat check-in, salah satu staf airlines sempat tidak yakin saya, WNI, boleh transit di New Zealand tanpa visa transit (nasib paspor hijau…), saat itu saya hanya punya General Visitor Visa Australia. Setelah dicek ulang, akhirnya dipastikan visa transit tidak diperlukan. Saat di pesawat, nuansa Amerika Latin mulai terasa, mulai dari muka pramugara/ri, Bahasa Spanyol yang tersebar di tempelan kabin dan bahan bacaan lainnya, kemudian di makanan yang disajikan. Selama 3 jam penerbangan tersebut, kata pertama yang saya pelajari adalah Salida (Exit/Keluar) yang tertempel di semua pintu pesawat. Saat akan mendarat di Auckland, dari atas sudah tampak keindahan New Zealand, saat itu siang hari di musim panas sehingga keindahannya tampak jelas.
Selama transit 2 jam, tak banyak yang kami lakukan selain duduk manis menanti, sambil sesekali jalan-jalan di seputar ruangan terminal. Kemudian dari Auckland, New Zealand kami terbang ke Santiago, Chile selama 13 jam! Ini penerbangan non-stop terlama kami saat itu. Melintasi Samudra Pasifik ternyata tak sesingkat yang dibayangkan (ya iyalah…, yang dilihat selama ini kan hanya di peta…hehehe..). Selama penerbangan, setiap beberapa jam saya cek flight path di layar monitor, dan setiap kali melihat hasilnya tetap saja kami masih berada di atas Samudra Pasifik…
Dan akhirnya tiba juga kami di Santiago, Chile. Bienvenido a America del Sur… Welcome to South America… Kami transit di sini selama 7 jam, harusnya 4 jam saja tapi karena ada masalah teknis, jadinya lebih lama. Apa saja yang kami lakukan selama 7 jam di bandara yang bernama lengkap Aeropuerto Internacional Comodoro Arturo Merino Benitez ini? Antara tidur di kursi tunggu yang tidak nyaman itu, jalan-jalan menjelajahi bandara yang tampak lusuh (atau sebetulnya kami yang lusuh…?), dan keluar masuk café, sambil berusaha mengurangi jet lag yang mulai menguasai badan. Ohhh….seandainya ke Kolombia ini bisa naik delman saja…(ngarep.com). Selama 7 jam di bandara ini kami sadar, kami mulai jadi orang asing yang sesungguhnya, karena hanya sedikit yang bisa berbahasa Inggris, jangan tanya apa ada yang bisa Bahasa Indonesia apalagi Bahasa Sunda…! Kebanyakan berbahasa Spanyol… (Panic mode ON…!)
Dan akhirnya setelah nangkring dan nongkrong selama 7 jam di bandara Santiago, Chile, terbanglah kami ke Bogota, Kolombia. Saat itu sore menjelang malam, hujan dan berangin pula. Penerbangan berlangsung sekitar 6 jam. Di pesawat suasana kurang nyaman karena ada seorang perempuan backpacker asal Kanada yang duduk di belakang saya, yang sepanjang 6 jam itu mengoceh kencang ke orang di sebelahnya tentang pengalaman backpacking-nya. Heran bagaimana dia bisa kuat lama mengoceh begitu, mungkin pengaruh alkohol, saking bangga dengan backpacking-nya, atau memang kurang kerjaan. Ocehan si neng backpacker agak mereda (meski masih terdengar oleh saya) setelah seorang pramugari menegurnya. Pasang ear plug jadi solusi. Selain itu banyak terjadi mild turbulence (guncangan ringan) yang membuat kepala saya makin pening. Penerbangan Santiago ke Bogota ini sebenarnya akan tampak lebih indah jika dilakukan di siang hari karena jalurnya menelusuri wilayah udara Pegunungan Andes, rangkaian pegunungan tinggi terpanjang di dunia, dengan salju abadinya. Kota tujuan kami, Bogota, terletak di salah satu wilayah dataran tinggi pegunungan Andes ini.
Setelah kira-kira 5 jam, pesawat mendekati wilayah udara Bogota, Kolombia. Saat itu menjelang tengah malam. Bogota sedang hujan dan berangin. Pesawat tampak kesulitan mendarat karena tiupan angin, berputar-putar dulu menunggu momen yang tepat untuk mendarat. Belum lagi kondisi tengah malam yang membuat jarak pandang terbatas. Tampaknya momen pendaratan akan tidak nyaman karena pesawat terasa sedikit oleng ke kiri dan ke kanan. Dan benar saja… Begitu roda pesawat menyentuh landasan… GUBRAAAKKK…!!! Hard landing terdengar cukup jelas, hasilnya salah satu kap lampu (ini pesawat yang model lampunya masih ada akrilik penutupnya) yang ada di atas kepala saya jatuh ke lantai kabin. Hadeeeuuuuhhhh…benar-benar menegangkan…!!! Begitu sadar pesawat sudah mendarat dengan selamat, semua penumpang bertepuk tangan dan bersorak gembira… Yaaaayyyyyy…!!!
Bienvenido a Bogota, Colombia… Welcome to Bogota, Colombia…
Kemudian para penumpang keluar pesawat dan mulai mengantri pemeriksaan imigrasi. Saat itu sudah tengah malam, konter imigrasi banyak yang kosong, hanya ada 2 konter yang ada petugasnya, sehingga antrian kami jadi panjang sekali. Ketika tiba giliran saya, sang petugas imigrasi tidak yakin kalau saya, WNI, boleh masuk Kolombia dengan Visa On Arrival (oh…lagi-lagi nasib paspor hijau). Setelah konfirmasi ke atasannya atasan si petugas ini (ya, betul, perlu 3 lapis petugas imigrasi untuk memastikan WNI betul terdaftar sebagai warga yang boleh masuk Kolombia dengan VoA) dia mulai yakin. Kemudian dia tanya apa keperluan saya di Kolombia, saya bilang ikut suami, sambil menunjuk M yang sudah selesai proses imigrasi di luar konter. Wah, bapak petugas tambah kuatir saya akan kelupaan mengajukan ijin tinggal… Aduh.., please deh.., Pak… Tahu begitu saya bilang saja mau jadi turis! Si M sudah celingukan heran tingkat dewa kenapa lama sekali. Antrian di belakang saya sampai dipindahkan ke antrian sebelah! Akhirnya setelah 40 menit barulah mereka yakin seyakin-yakinnya dan mengijinkan saya masuk sambil bilang: “Señora, please don’t forget to get your stay permit as soon as possible…” Iya, Pak…
Kelar urusan imigrasi, kami ambil bagasi, setelah itu keluar menuju area penjemputan. Kami hanya akan transit semalam di Bogota sebelum terbang ke tujuan akhir, kota Barranquilla di pesisir Laut Karibia. Seorang petugas dari Hotel Sheraton Bogota sudah menanti. Meluncurlah kami ke hotel dengan kepala pening, jet lag tingkat ketujuh dan kedinginan. Meski Kolombia adalah negara beriklim tropis, tapi kota Bogota sendiri berada di dataran tinggi rangkaian Pegunungan Andes. Suhu udara malam itu? 10’C saja…!!! Brrrr…. Sesampainya di kamar hotel sekitar jam 1 dini hari, kami tewas dengan sukses (terkapar kecapean maksudnya, dan segera tidur).
Besoknya kami kembali ke bandara Bogota yang bernama lengkap Aeropuerto Internacional El Dorado ini. Penerbangan berikutnya adalah ke Barranquilla selama 1 jam saja (Oh…thank God!). Kali ini kami terbang dengan maskapai penerbangan Avianca milik Kolombia. Suhu udara Bogota di siang hari agak mendingan, sekitar 15’C, tetap dingin sih buat saya. Tapi lumayan lah… Kami tiba di Barranquilla disambut cuaca khas daerah tropis tepi pantai: panas, terik, dan lembap. Suhu udara saat itu 33’C. Jauh sekali ‘kan dengan suhu Bogota… Langsung kami buka mantel karena kepanasan…
Di bandara Ernesto Cortissoz di Barranquilla ini kami disambut pihak perusahaan tempat M nantinya bekerja yang diwakili oleh seorang staf senior, seorang warga negara Amerika Serikat yang sudah lama menetap di Kolombia. Kami langsung diantar ke apartemen tempat kami akan tinggal. Ketika tiba di sana, sudah ada beberapa orang staf lainnya, tampaknya dari bagian expatriate formalities, yang sedang memastikan apartemen sudah siap. Mereka memperkenalkan diri, kemudian memperlihatkan setiap sudut apartemen tersebut. Salah seorang dari mereka akhirnya berkata dalam Bahasa Inggris dengan logat Kolombia yang kental: “Well, Señor and Señora…, there it is. Welcome to your apartment. Due to time constraint, this is the best that is available. We really hope that you’ll like this. However, if for some reasons you don’t, maybe you want something big, for example, please do not hesitate to contact us…” Kami berdua melongo…., entah kami ini katrok atau ndeso.., apartemen tersebut sudah tampak Wow! bagi kami. Tampilannya seperti foto-foto keren di artikel gaya hidup modern yang biasanya terpampang di majalah-majalah masa kini, dan… luasnya 3 kali luas rata-rata apartemen biasa di Jakarta!
Bienvenido a Barranquilla, Colombia… Welcome to Barranquilla, Colombia…
Dan culture shock pun baru saja dimulai…
Bersambung…
Baru tadi (WIB) saya liat liputan sekilas tentang Bogota di tv swasta, bener-bener kebetulan setelah sjak kmarin baca crita mbak. ok saya tunggu crita culture shock salsa dan saya harap ada telenovela-nya juga 🙂
LikeLike
Hahaha😝😝😝Makasih sdh jadi pembaca setia😃👍 Pokoknya stay tuned dah..😄
LikeLike
Tiap hari di intip blognya, hohohoho… blum ada yg terbaru 🙂
LikeLike
Ohhhh…😊jadi terharu…😊 masih di draft nih.., lagi ribet sama foto… Sekali lagi makasih banyak ya..😃
LikeLike
Parah ya mbak nasib paspor hijau. Voa gak berlaku di semua negara. Sampai tuan rumah aja gak ingat listnya. Semoga ke depan nasib si hijau bisa lebih garang…
LikeLike
Ya ini karena orang Indonesia ga banyak yang traveling, apa lagi ke Columbia. Kan kebanyakan orang Indonesia senengnya ke Eropa atau Amerika Serikat aja…. negara yang aneh, mana ada yang mau….? 🙂
LikeLike
Betul sekali komentarnya Nina.. Makanya ayo jelajahi dunia.. Yang dekat2 aja dulu… Gak perlu lah seaneh kami sampe ke Kolombia segala..😝😝😝
LikeLike
Kok ga ada penampakan apartemennya yang “wah” untuk ukuran Jakarta itu?
LikeLike
Hehehe..belum, Nin.. Di episode berikutnya mungkin.. Saat itu sih berasa wah karena kami baru saja keluar dari hutan.. Tapi begitu lihat apartemen para big boss. tempat kami berasa biasa aja..hihihi😜 Tapi kami betah koq di apartemen itu😄
LikeLike
Lama aza ya Em penerbangannya, plus pake acara turbulence dan angin juga, and then the jet lag. Kutunggu sambungannya…ga sabar 🙂
LikeLike
Gitu deh Ria, kalo nyebrang samudra😄 Makasih sudah setia menanti cerber-ku.. Pokoknya stay tuned deh😃
LikeLike
Wah serem bngt flightnya, sampe tepuk tangan dan sorak sorai pas successfully landed 😰😨 kok dimana2 nasib WNI repot bngt yah, diskriminasi thd paspor ijo nih huhu
Hmm ini cerita kayanya masi lama sampe ke masa kini yah, skrg uda ga kerja di kolombia kan sepertinya hehe
LikeLike
Yah gitu deh, Mey.. Seperti yg aku tulis sebelumnya, ini lebih karena betapa jarangnya orang Indonesia bepergian ke LN, sehingga staf Airlines/imigrasi di negara tsb gak inget klasifikasi utk WNI..
Wah pertanyaanmu belum bisa dijawab sekarang tuh.. Ntar kurang seru cerber-nya😝 Masih sudah setia membaca..👍😃
LikeLike
Ijo…ijo..ijo..
Ijo yang selalu bikin cerita kapan ijo ku aku pakai, wah kalau dengar bogota ingat telenovela bagaimana orang orang disana em…?
jadi ngak sabar sama cerita cultural shocknya…
LikeLike
Kalo di kasusku sih lebih karena orang Indonesia tuh yang paling jarang bepergian ke luar negeri dibandingkan warga negara Asia lainnya sehingga para staf airlines atau imigrasi gak inget klasifikasi utk WNI.. Makanya ayo pake si ijo-mu itu.. Mari jelajahi dunia.. Yg deket2 aja dulu, gak perlu seaneh kami sampe ke Kolombia segala😝
Yo wis pokoknya stay tuned aja ya, Jeng😄 Tks sdh setia membaca..👍
LikeLike
Amin…
Jika sudah rejeki nanti juga tiba ya em..
LikeLike
Betul! Kalo udah rejeki mah gak akan ke mana…
LikeLike
Nanti dicerita selanjutnya ceritain tentang makanannya juga dong biii 😁
LikeLike
Tentu dong.. Pokona mah stay tuned lah, neng… Cerita gegar budaya tuh gak ada matinya deh😄
LikeLike
Sippp ditunggu kisah lainnya.
LikeLike
Siiiip👍makasih sudah setia membaca cerber-ku😃
LikeLike
😊
LikeLike
berasa kyk baca anita cemerlang dgn cerita bersambungnya yg bikin pgn baca terus. nagih Em baca blogmu nih. hihihi
LikeLike
Hahaha😝 Anita Cemerlang tuh jaman kapan cobaaaa…😝 Makasih banyak ya sudah jadi pembaca setia cerberku👍😃
LikeLike
aku udh baca ancer dr jaman SD kelas 5. btw aku lulus SD thn 91. mateng karbitan bgt kan. hahaha… kok jd ngomongin majalah jadul yak. keep writing ya Em!
LikeLike
Hehehe…aku malah baca Femina (meski majalah bekas kiriman sodara) waktu SD, pas SMA malah baru baca Gadis..😝😝😝
LikeLike
Ihhhh terbang ke Timika aja udah mati gaya nek, ga kbayang deh tuh sgitu lamanyaaaaa…
LikeLike
Mati gaya dan mati rasa level ketujuh bok..!😁
LikeLike
mendengarkan kata Colombia aja gk kebayang mbak, ditunggu kelanjutan crta kehidupan swktu dsana
LikeLike
Siiiip.. Makasih sudah setia baca cerber-ku.. Ditunggu aja episode berikutnya okeh😃
LikeLike
siap kak kepo jg kehidapn ama budayanya
LikeLike
Oke deh… Ngomong2 kepo tuh apa sih..😏 (siap2 deh aku diketawain ABG se-Indonesia raya gara2 gak mudeng😏)
LikeLike
knowing every particular object mbak hihihi
LikeLike
Oalaaaaahhhh…ada-ada aja istilah anak jaman sekarang…hahaha…
LikeLike
hihi jaman edan mbak.. ada lagi sitilah “alay”, “bingitz” de el el
LikeLike
ihh semakin seru mana foto apartmentnya…akh gak seru jadinya bahhahahaha…
LikeLike
Eh ada yg baru pulang dari amrik😄 (eh udah pulang kan?) Bentar ya neng episode berikutnya segera tayang😄
LikeLike
hahahhaha iya pulang deh penuh kegalauan financial… hahhaha.. dan trauma harus kerja lagi besok………..stress dengan target target selanjutnya sudah keenakan libur …
LikeLike
Tenang…tenang… Sindrom abis liburan emang gitu…😄 Nanti juga biasa lagi koq…
LikeLike
19 jam penerbangan itu gimana rasanya ? tapi Alhamdulillah tetep diberi kemudahan ya mbak. Kan kalo beneran naik delman ke Kolombia bisa nyampe 3 bulan kemudian hahhaha. Bahasa Spanyol itu kok kedengerannya seperti nama wanita telenovela ya mbak, Salida rupanya artine exit, hihihiii
LikeLike
Hahaha…kamu bisa lucu juga rupanya😝naik delman 3 bulan😝 19 jam flight tuh rasanya mati gaya, mati rasa, dan mendadak lemot tingkat dewa😁
Makasih sdh mampir lagi dan baca cerber-ku ya😃
LikeLike
Ditunggu sambungannya ya. Paspor ijo memang susah ya, tapi sebenernya dimana mana negara yag saya pergi banyak orang indonya, tapi mungkin ke Kolombia jarang ya (saya pun belom pernah).
Saya ga suka terbang apalagi ke daerah2 kecil yang mesti naik kapal kecil pula.
LikeLike
Ya begitulah… I love my home country, and I wish I could love its passport just a little bit more😄
Makasih ya sudah ngikutin cerber-ku…👍 Stay tuned okay😃
LikeLike
Selama di South America berkesempatan keliling kemana aja Em selain Colombia ?
LikeLike
Domestik saja sempetnya, salah satunya ke Medellin, kota yg dulunya pusat narkoba dunia itu. Aku agak sulit pergi ke negara lain kalo suami hanya punya waktu luang 2 hari setiap 2 minggu, kalo aku pergi sendiri dia belum yakin sama keamanan, mau pergi sama temen eh mereka ibu rumah tangga yg super sibuk semua, gak ada yg tipe traveller kayak dirimu😃 Makanya aku salut sama dirimu yg niat nyambangin South America👍
LikeLike
iya yaaa agak gimana gitu ama security di benua sana, murder rate nya di Colombia juga tinggi Em ?
LikeLike
Kalo ngebandinginnya sama Kolombia jaman kegelapan ya jauh berkurang lah.. Tapi teuteup fantastis angka pembunuhannya dibanding Indonesia.. Contohnya, bukan berita aneh kalo pencopet nembak mangsanya kalo ngelawan, pdhl uang yg dicopet gak seberapa.. Trus, tiap malam minggu selalu ada keramaian yg dibubarinnya harus pake tembakan peringatan dari polisi… Mana ada yg beginian di Indonesia, apalagi kalo tiap minggu. Tapi menurut orang Kolombia segitu sih “aman”.. Aiiiihhhh…
LikeLike