(045) Edisi kampung halaman…

Puncak Mountain  Path

Daerah Puncak, perbatasan Cianjur-Bogor, foto hasil bidikan adik saya…

Setelah beberapa minggu berada di Sangatta, pertengahan April 2012 saya pulang dulu ke Cianjur, menengok orang tua dan adik-adik. Alhamdulillah semuanya sehat. M tidak bisa ikut karena belum ada libur. Saya juga melihat kondisi rumah saya yang sebelumnya ditinggalkan cukup lama. Selama mengembara, ibu dan adik-adik saya yang bergantian merawat rumah. Perjalanan dari Sangatta ke Cianjur seperti biasa dimulai dengan pergi ke bandara Sangatta yang berjarak 3 menit berkendara dari rumah dinas (ya betul 3 menit, bukan 30 menit, karena jaraknya hanya sekitar 1 km dari tempat kami tinggal), kemudian naik pesawat jenis Twin Otter dari maskapai Airfast menuju Balikpapan, setelah itu ambil penerbangan Garuda menuju Jakarta. Di bandara Soekarno-Hatta Jakarta sopir saya menjemput dan langsung menuju Cianjur. Perjalanan ini dimulai di pagi hari sekitar jam 09:30 dan biasanya tiba di Cianjur paling cepat jam 7 malam.
Selama berada di kampung halaman, saya juga kumpul-kumpul dengan teman-teman dekat masa kecil zaman SD dan SMP. Meskipun akrab, tetapi sejak kuliah kami nyaris tak pernah bertemu lagi. Ada beberapa orang yang hadir di pernikahan saya di tahun 2009, tapi sebagian besar tak pernah bertemu lagi sejak lulus SMA. Sejak kuliah saya lebih banyak menghabiskan waktu di kota tempat kuliah, Bandung. Apalagi sejak bekerja dan mengembara, saya seperti hilang dari peredaran, setidaknya itulah pendapat teman-teman. Setelah SMA, sebagian dari mereka ada yang lanjut kuliah, ada yang langsung bekerja, entah itu di Cianjur maupun di kota lain. Namun ada satu kesamaan, mereka menikah di usia 20an, kembali ke Cianjur dan menetap di sana; sementara di saat yang sama saya malah memutuskan untuk mengembara lebih jauh lagi. Perlu diingat, rentang waktu kuliah + masa kerja saya adalah tahun 1993-2011, ketika umumnya handphone masih dianggap barang mahal dan social media adalah…., apa itu social media..?!? Ini kondisi yang ada setidaknya sampai tahun 2008. Dan ketika sesuatu yang bernama Friendster dan Facebook muncul pun, saya tidak tertarik untuk jadi pelaku aktif, waktu itu punya akun tapi jarang dibuka. Selain itu, Cianjur adalah kota kecil dengan gaya hidup simpel. Hasilnya, saya dan teman-teman seangkatan ini bisa dibilang kudet (kurang update) tentang kabar masing-masing di masa itu, kecuali mereka yang tinggal di kota yang sama tentunya.
Kembali ke urusan reuni kecil ini, kami sepakat untuk berkumpul di rumah saya. Di hari yang sudah ditentukan, berdatanganlah mereka. Ada yang datang sendiri, bawa anak, bahkan ada yang bawa suami..hehehe.. Bertemu kembali dengan teman-teman dekat setelah hampir 20 tahun tak bertemu rasanya menakjubkan! Dua puluh tahun ini hitungannya dari masa lulus SMA. Ada juga beberapa teman yang tak pernah bertemu sejak lulus SMP, berarti 23 tahun ‘kan.. Percakapan mengalir dengan riuhnya. Dan semakin lama kami berbagi cerita kehidupan setelah masa sekolah usai, semakin saya merasakan keprihatinan yang mendalam atas apa yang terjadi pada beberapa di antara mereka.
Dibandingkan dengan mereka, jalan hidup saya adalah yang paling “tidak bergaya sinetron penuh drama dan airmata”. Dari urusan pribadi, sebagian dari mereka berstatus entah itu janda/duda, pernah/nyaris bercerai, atau sudah menikah lagi untuk yang kesekian kalinya sehingga punya beberapa anak dari pasangan berbeda. Penyebab kegagalan rumah tangga mereka umumnya adalah perselingkuhan, KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), dan perbedaan pola pikir yang signifikan di antara pasangan itu sendiri. Kisah ironi juga ada: Seorang teman pernah hamil di luar nikah ketika SMA, bayinya kemudian diasuh/diberikan kepada orang lain. Sementara ada pula yang sudah menikah lama dan ingin punya anak, tetapi setiap kali hamil berakhir dengan keguguran, sehingga pasangan ini memutuskan mengangkat anak (bayi baru lahir) yang berasal dari keluarga miskin yang beranak banyak. Dari urusan ekonomi, terbukti bahwa dunia memang berputar. Beberapa orang yang dulunya tajir melintir, sekarang nyaris tak punya apa-apa, sedangkan yang dulunya biasa saja sekarang tampak mapan.
Dan ketika mereka semua selesai dengan ceritanya masing-masing, giliran saya yang ditanya. Dan cerita kehidupan saya tentu saja lebih sederhana: sekolah, kuliah, bekerja, beli rumah, bertemu beberapa kandidat jodoh sampai akhirnya bertemu M, menikah, dan terakhir saya memutuskan berhenti bekerja kantoran agar kami bisa “ngebolang” bersama. Satu-satunya hal “negatif” mungkin fakta bahwa saya menikah di usia 34 tahun, usia yang dianggap sangat telat untuk menikah, terutama bagi perempuan. Tapi saya tidak peduli dengan anggapan tersebut. Dan ironisnya, saya menikah (dan berbahagia dengan kehidupan rumah tangga saya) di saat rumah tangga teman-teman mulai banyak yang “berguguran”, tapi saat itu tentu saja saya tidak tahu soal ini.
Setelah mendengar cerita saya, semua teman menganggap saya lebih beruntung. Saya pikir, ya saya beruntung, tetapi menurut saya keberuntungan hanya berperan kecil, sebagian besarnya karena doa dan usaha. Jalan hidup saya memang tampak lurus dan simpel, tapi bukan berarti tanpa rintangan. Rintangan utama yang sering dialami adalah masalah keuangan. Keluarga saya secara administratif tidak bisa dikategorikan keluarga kurang mampu karena kedua orang tua saya guru berstatus pegawai negeri. Hanya tak banyak yang tahu bahwa sebelum tahun 2007 (ketika reformasi perbaikan kesejahteraan guru mulai didengungkan) para guru rata-rata berjuang keras, seringkali gali lubang tutup lubang, hanya agar mereka dan keluarganya bertahan hidup dan anak-anaknya tetap sekolah.
Dan ketika acara kumpul-kumpul ini selesai dan saya kembali seorang diri di rumah, saya jadi termenung. Di masa-masa naik turunnya nasib saya di perantauan, saya suka berpikir, kehidupan semua teman di kampung pasti jauh lebih baik karena mereka tampaknya sudah mapan di segala aspek kehidupan. Tapi ternyata tiap orang punya momen manis dan pahitnya masing-masing. Dan ketika saya cerita soal ini ke M, dia bilang: “Honey, everybody has its ups and downs. And you got the skill to keep it together and to stay out of the troubles, even in times of troubles. That’s why I’m so proud to be your husband..”
Whoaaaaa…meleleh gak sih.. Hehehe…

Bersambung…

33 thoughts on “(045) Edisi kampung halaman…

  1. sama dong kita em, saya juga waktu nikah 34 🙂

    hahahaha hampir lupa pernah ada yang namanya friendster. setuju banget em setiap orang punya momen manis dan pahitnya masing-masing…

    salam
    /kayka

    Liked by 1 person

  2. Aku juga dituduh menikah telat, padahal kan bukan telat tapi menunggu saat yang tepat :p

    Bapak Ibuku juga PNS kabupaten, aku juga mengalami momen manis pahit menjadi perantau sejak umur 15 tahun. Semua tidak mudah, tapi ketika dijalani menjadi bisa. Kalau dalam bahasa Jawa itu namanya Sawang Sinawang, Em. Yang artinya melihat orang lain kayaknya lebih enak hidupnya dari kita, padahal orang yang kita pandang itu juga berpikir yang sama tentang kita 🙂

    Liked by 1 person

    • Main tuduh kayak mereka tuh bantuin kita cari jodoh aja ya..😝
      Sejak lihat wajahmu di blog dan baca beberapa tulisanmu, aku udah feeling kalo kita punya latar belakang yg mirip loh..😄 *telepati*
      Trus semakin bertambah umur, semakin aku tuh nyadar bahwa selama ini aku sering sawang sinawang gitu ke orang lain.. Jadinya aku mikir utk belajar ikhlas dan bersyukur lebih banyak.. Oh kehidupan..😂

      Like

  3. menikah di usia segitu kata orng indonesia terlambat, kalo kata orang disini terlalu muda, lantas sja mereka terheran2 saat dengar usia yg segini dan sudah menikah :-D. emang bener sih masing2 orang punya momennya sendiri.
    oya mbak Jauh juga ya ternyata jarak dari jakarta ke cianjur mbak Em

    Liked by 2 people

    • Ya lumayan jauh, Di.. Tapi yg bikin lama sebetulnya perjalanan dari bandara Jakarta ke Cianjur karena banyak lewat titik macet. Jaraknya cuma 140 km tapi bisa 5 jam kalo macet. Sedangkan Balikpapan-Jakarta yg 1600 km cuma 2 jam penerbangan..
      Soal usia nikah buatku sih usia dewasa berapapun sepanjang siap lahir batin ya gak masalah.. Namun setiap orang memang punya takdirnya masing-masing kan.. Takdirku ya menikah di usia 34.. Buatku disyukuri aja, toh setiap kejadian ada hikmahnya..

      Like

  4. Ah ada kesamaan, nikah umur 34, untunglah pihak keluarga adem ayem diluarnya tapi di diminta hati ibu khawatir anak perempuan satu satunya blm nikah hehehe.
    Tapi ada positif nya juga nikah telat buatku, jadi banyak jalan ama temen yg blm nikah juga liat kota lain, wareug hehe
    Kayaknya kita beda angkatan satu thn deh,
    Aku pun ikut meleleh baca akhirnya, semoga kalian langgeng selalu, sehat dan bahagia.
    Btw, ke Cianjur beli bubur dong…. Ah bubur Cianjur

    Liked by 1 person

    • Hehehe😀 hatur nuhun, Yang.. Sok atuh kadieu yeuh bubur Cianjur tos siap..😋
      Tah eta, Yang, hikmahna teh, wareg kuralang kuriling jeung boga duit sorangan nya😆 Da saya mah bade disebut telat ge mangga we ari takdir ti Allah na kitu, leres kan Bu..😀

      Like

  5. Kalo saya sih nikah telat ga masalah mbak justru bagus, puas2in masa muda hahaha… Lgpl kalo masih single masih bisa nabung buat beli kebutuhan. Udah mapan tinggal nikah.
    Dari segi hubungan, emang sih usia tidak mempengaruhi kedewasaan tp umur 20-an ga jauh beda sm ABG, masih labil wkakaka

    Like

    • Ya banyak yg berpendapat seperti kamu, Ge.. Tapi buatku sepanjang siap lahir batin mau nikah usia 20an gak apa-apa.. Kalo aku ngelihatnya gini, bukannya gak cari jodoh tapi berhubung takdirku ketemu jodoh di umur 30an ya disyukuri aja, hikmahnya kan bisa nabung dulu, puas-puasin masa lajang dll.. Dan pas nikah pun beneran siap mental dan ikhlas ngejalaninya, gak penasaran pengen yg lain-lain lagi kayak waktu masih umur 20an.. Tapi gak tau juga kalo perempuan lain mungkin beda pendapatnya..

      Like

  6. Dunia memang berputar, kejadian silih berganti. Ada yang bilang beruntung ada yang biasa saja. Menikah itu pilihan hidup, umur berapapun kalau memang sudah waktunya pasti akan berjalan dengan baik

    Liked by 1 person

  7. Emang ya hidup dan kehidupan berputar… Dan seringkali kita berpikir rumput tetangga lebih hijau ya Teh…

    aku saat ini juga masih sendiri, sementara teman2 udah banyak yang nikah… 😛 *jadi curcol, hehe

    Dan kalau dipikir2, teman2mu yang nikah selepas sma, sekarang udah ada yang mau mantu juga kali yaa *oot* hehe…

    Like

    • Ya gitu deh.. Belum nikah atau belum memenuhi keinginan lainnya dalam hidup itu suatu kondisi yg wajar karena kenyataannya kita gak selalu memperoleh yg kita mau dengan mudah. Yang penting terus berdoa dan berusaha, jangan putus asa, dan tetap percaya diri, yakin semua udah ada yg ngatur. Mungkin jawaban atas doa dan usaha kita hari ini adalah:Belum, siapa tau besok jadi OK..hehehe.. *ini penegasan ke diriku sendiri kalo mood lagi turun*
      Oh ya anak temanku banyak yg udah pada kuliah dan lihat aja bentar lagi pasti dapat undangan nikahannya..hahaha..

      Like

  8. Pingback: (046) Minta PIN-nya dong… | Crossing Borders

  9. Komentar M sama dengan komentar suamiku tentang aku. Dan memang kita-kita yang menikah telat managed to stay out of those trouble, karena our boring life: kerja, kerja dan kerja…. o_O

    Liked by 1 person

  10. Aku 32 maret thn dpn 33 blm ketemu jodoh jg teh…ortu ku santai tapi ada bbrp tmn yang memandang sebelah mata, tutup kuping deh kl udh ada yang ngomen negatif spt bilang kamu kaya ga ada niat bt nikah lah, usaha dong, ampunn aku tuh kerja pergi pagi pulang jelang magrib masa disuruh sering nongkrong, kl ga kerja siapa lagi yang biayain #curhat# hehe..lagipula aku tdk menutup diri blm dipertemukan aja ya teh..tapi bener teh di satu sisi aku bersyukur krn aku liat tmn2 ku banyak yang bercerai mrk anaknya rata2 udh kls 3/4 sd loh..banyak yang ngeluh masalah ekonomi dll lah kumplit kaya gado2..intinya aku syukuri aja apa yang sedang alloh rencanakan ini, masih single diusia segini bisa beli apapun yang kita mau, bisa traveling walau masih skala nasional hehe

    Liked by 1 person

    • Hai, Nia.. Tekanan sosial terutama terhadap perempuan memang berat, apalagi perempuan sering diposisikan untuk menyenangkan hati semua orang agar disukai/diterima oleh lingkungannya.. Dan bukannya mau menciutkan perasaanmu, tapi pertanyaan “kapan nikah” itu hanya awal dari sekian banyak pertanyaan sejenis yg akan kamu temui sepanjang hidupmu.. Jadi kalo sekarang kamu bisa tetap tenang menghadapi pertanyaan awal ini, tetaplah seperti itu utk pertanyaan selanjutnya. Biasanya lingkungan akan mengerti sendiri utk tidak terus-terusan bertanya.. Sekedar berbagi cerita, saya punya teman yg akhirnya memutuskan menikah di usia 28 tahun hanya karena tekanan sosial tersebut..(merasa sudah tua, tapi belum menikah juga). Di kemudian hari dia menyesali keputusannya itu..

      Like

  11. Iya teh…sy lumayan tenang sih ngadepinnya kadang saya becandain tapi ketika bad mood bisa jd kesel bgt teh, kadang2 kl lg pusing ditanya gitu, cape jd nangis aja iya ya kapan datang pangerang berkuda putih itu hehe tapi kl udh tenang lagi, halah ngapain denger kata orang..positive thinking aja gpp telat asal bahagia hehehe

    Like

Leave a comment