Cerita kelahiran..(01)


Tak terasa sudah empat bulan yang lalu saya melahirkan Bear. Sampai saat ini pengalaman itu kadang masih terasa tak nyata. Mungkin ini karena saya pertama kali menjadi ibu di usia 40an, usia ketika para wanita umumnya selesai beranak pinak. Ketika mendekati usia akhir 30an dan belum punya anak juga, sempat terpikir mungkin saya memang tidak akan pernah hamil dan melahirkan. Untunglah keinginan untuk punya anak itu akhirnya terkabul setahun yang lalu.
Nah, kembali ke cerita melahirkan.. Saya tumbuh di lingkungan yang memberi kesan bahwa melahirkan itu adalah sesuatu yang menakutkan dan menyakitkan secara fisik dan mental, serta bernuansa dramatis. Kesan ini makin diperkuat ketika saya beranjak dewasa. Ketika teman-teman seangkatan mulai berkeluarga di usia 20an, makin sering saya mendengar cerita melahirkan yang tak kalah “seram”. Dan ini “diperkuat” dengan ungkapan: melahirkan itu bagaikan bertaruh nyawa.. Deg..! Jantung saya mau copot rasanya setiap kali mendengar istilah atau anggapan ini diucapkan, atau setiap kali seorang teman lagi-lagi berbagi cerita kelahiran anaknya atau anak orang lain. Belum lagi ketika cerita melahirkan yang “horor” ini ternyata tidak selalu berakhir bahagia. Duh..:-( Mau tutup telinga atau permisi undur diri, tapi rasanya kurang sopan ya.. Begitulah yang ada di pikiran saya saat itu. Ya sudah.., saya tetap diam di tempat dan mendengarkan, sehingga makin banyaklah perbendaharaan cerita melahirkan tersebut di otak saya.
Saya pun berusaha mencari tahu lebih banyak hal tentang melahirkan ini. Salah satunya adalah dengan membaca data terkait. Dan menurut statistik yang terakhir saya baca dari website Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (www.pkbi.or.id), angka kematian ibu melahirkan ternyata meningkat dari tahun ke tahun. Nah loh..!
Tapi kemudian, saya berpikir, kalau melahirkan itu menakutkan (dalam segelintir kasus kadang mematikan), mengapa mayoritas wanita, setidaknya para wanita yang saya kenal, tetap memutuskan punya anak? Mungkin karena “imbalannya” setimpal ya.., mendapatkan anak yang didambakan. Mungkin itu salah satu alasannya. Entahlah..
Lalu bagaimana dengan saya? Seingat saya, saya selalu ingin punya anak, dan selalu membayangkan akan punya dua anak dengan mudah dan cepat, semudah dan secepat orang kebanyakan. Tapi kenyataan tidak sejalan dengan keinginan, sama seperti beberapa hal lainnya dalam kehidupan ini.
Singkat cerita.., saya akhirnya berhasil hamil setelah 5 tahun menikah, melalui serangkaian usaha untuk hamil, yang berujung dengan program IVF yang melelahkan fisik, mental, dan dompet. Kemudian mungkin alam semesta ini akhirnya berbelas kasihan pada saya dengan memberikan masa kehamilan yang relatif mudah. Masa kehamilan saya jalani dengan lancar bagaikan berkendara di jalan bebas hambatan. Tidak ada episode “ngidam”, episode mual muntah berlangsung hanya 3 minggu. Secara umum saya sehat, bahkan flu pun tidak ada. Hanya ada 2 “insiden” dengan perut/lambung saya. Dua-duanya karena kondisi hormonal kehamilan yang membuat lambung saya yang dulu banget sempat bermasalah menjadi sensitif lagi.
Pertama, dalam masa mual muntah di usia kehamilan 2 bulan, kondisi hormonal sempat mengakibatkan kadar asam lambung naik drastis sehingga selama tiga hari muntahnya mengandung sedikit bercak darah yang berasal dari dalam kerongkongan yang terluka akibat gerakan memuntahkan. Dokter memberi saya obat lambung yang aman bagi wanita hamil, tak lama kemudian masalah teratasi. Kedua, di usia kehamilan 8 bulan, saya makan sepotong kue bersantan yang ternyata santannya sudah basi. Lambung saya bereaksi cukup heboh; mual, muntah, dan pening berat semalaman sampai paginya. Saya pun diberi obat lambung/sakit perut yang aman untuk wanita hamil. Dalam kondisi normal, lambung saya pastinya bereaksi juga tapi tidak akan seheboh dua kejadian di atas.
Selama hamil saya beraktivitas seperti biasa sampai usia kehamilan 8 bulan karena saat itu badan saya sudah terlalu berat. Berat badan naik 30 kg (ya betul, 30, bukan 13, apalagi 3..). Berat badan saya naik begitu banyak karena terapi hormon yang dijalankan saat program IVF juga menyebabkan berat badan naik, itu salah satu efek samping yang dialami, mungkin orang lain berbeda reaksinya. Sekarang berat tambahan 30 kg itu sudah turun 16 kg. Sementara itu selama di dalam kandungan, bayiku Bear juga sehat, tidak pernah ada masalah apapun.
Kemudian, sehari-hari di rumah saya tinggal sendiri saja, suami pulang dari Kalimantan sebulan sekali. Saya tidak punya pekerja rumah tangga karena lebih suka mengerjakan sendiri semua tugas di rumah. Semua orang (kecuali keluarga dekat yang tahu sifat dan kebiasaan saya) khawatir begitu tahu saya di rumah seringnya sendirian. Padahal saya baik-baik saja, saya tidak merasa kesepian, ketakutan, atau kelelahan. Bahkan saya berhasil melaksanakan ibadah puasa Ramadhan sebulan penuh. Waktu itu di usia kehamilan 5 bulan, saya berkata pada diri sendiri seperti ini: “Saya akan berpuasa, ย semoga kuat. Tapi jika tidak kuat, saya akan langsung melipir saja ke dapur dan tidak akan memaksakan diri”. Tapi di usia kehamilan 8 bulan saya minta adik saya tinggal bersama saya demi keselamatan diri karena dengan berat ekstra 30 kg itu saya sudah semakin sesak bernafas, ditambah lagi cuaca yang semakin panas di musim kemarau saat itu.
Dan tibalah saat melahirkan. Sejak awal, dokter tidak merekomendasikan melahirkan normal karena usia saya yang di atas 35 tahun itu masuk kategori resiko tinggi. Ditambah lagi ini adalah kelahiran pertama dan hasil IVF pula yang dalam kasus saya dianggap akan lebih aman jika melalui proses operasi. Saya maunya melahirkan cara normal karena katanya melahirkan via operasi itu masa pemulihannya lama dan bisa lumayan menyiksa, sementara melahirkan normal hanya terasa sakit saat melahirkan. Tapi sampai minggu-minggu terakhir masa kehamilan, rekomendasi dokter tidak berubah: C-section. Ya sudah, kami ikuti saja rekomendasi medis tersebut. Dan berdasarkan pemeriksaan di usia kehamilan 8 bulan, akhirnya diputuskan bahwa tindakan C-section akan dilakukan dua minggu berikutnya.

Bersambung ke post berikutnya..

20 thoughts on “Cerita kelahiran..(01)

  1. pantengin terus kelanjutannya, kadang saya juga berpikir kok orang lain gampang banget mau punya anak bisa langsung punya, saya kok belum ya *curcol* hehe

    Like

  2. Sempet merasa putus asa & mikir: mgkn emg takdirnya kami berdua ga bs punya anak. tp lalu aku mikir: eh kan gak boleh berputus asa thdp rahmatNYA. Alhamdulillah di tahun ke-7 nikah, setelah struggling with this and that, dikasih hamil juga ๐Ÿ˜€ percaya gak percaya rasanya….

    Like

    • Ah sama persis.. Setiap kali merasa putus asa.., aku suka tanya suami: apa kita memang ditakdirkan utk jadi pasangan tanpa anak..? Dia bilang: tidak tahu, tapi kalaupun itu takdir kita, ya gak apa-apa, kita tinggal keliling dunia aja..๐Ÿ˜ญ whoaaa..mengharu biru gimana gitu๐Ÿ˜ญ
      Sampe sekarang udah ada anak pun, aku masih gak percaya ini udah kejadian punya anak..๐Ÿ˜„

      Liked by 1 person

    • Hahaha..iya Feb.. Nunggu Bear agak gedean dulu soalnya waktu baru lahir dia ngajak begadang melulu๐Ÿ’ค๐Ÿ˜ด๐Ÿ˜ Udah niat juga mau cerita perjalanan IVF.., tapi biasa deh nunggu momen yg pas buat nulisnya.., tunggu aja tayangannya ya๐Ÿ˜ƒ

      Like

    • Dan saya selalu iri pada pasangan yang gampang banget punya anak, saling senyum aja udah langsung ‘brojol’.. Malah saya kadang suka “sinis” kalo ada pasangan yang memutuskan punya anak lagi hanya karena belum punya anak laki-laki atau perempuan di kelahiran sebelumnya.. Menurut saya, itu alasan dangkal utk punya anak, seolah-olah manusia dihargai berdasarkan jenis kelaminnya..

      Like

Leave a comment