Tentang menjadi ibu..

Tak terasa sudah dua tahun lebih saya menjalani peran sebagai seorang ibu. Anakku Bear saat ini berumur 2 tahun 2 bulan. Jika dihitung dari masa kehamilan tentunya hampir 3 tahun saya menjadi ibu.

Meski sejak lama yakin bakal punya anak, tetapi perjalanan saya menjadi ibu tidak mudah. Saya dan suami, M, sama-sama berasal dari keluarga besar. Sulit menerima kenyataan ketika di kemudian hari kami mengalami kesulitan memiliki anak, sesuatu yang bagi sebagian besar orang sangat mudah. Saat itu pemeriksaan medis menyatakan tidak ada masalah dengan kami tapi yang diharapkan tak kunjung datang. Namun demikian, kami tentu bersyukur akhirnya dianugerahi anak melalui program IVF.

Ketika menjalani prosedur ini, kami baru sadar bahwa banyak pasangan lain yang perjuangannya jauh lebih berat. Pertama, kami bersyukur diberikan rejeki dan kesehatan untuk melakukan program IVF yang tidak murah serta tidak mudah itu. Kedua, prosedur IVF yang kami jalani hanya satu putaran yang terdiri dari dua kali implantasi embryo: yang pertama hasilnya negatif, yang kedua hasilnya positif (menjadi Bear). Tak “seberapa” jika dibandingkan dengan orang lain yang bisa sampai beberapa kali putaran IVF dengan sekian kali implantasi embryo, dan masih tak berhasil. Ketiga, setelah positif hamil dan kemudian melahirkan, semua proses kehamilan dan kelahiran berjalan sangat lancar, sampai-sampai teman-teman perempuan “iri”, katanya semuanya “mulus kebangetan”..hahaha..

Selain itu ada satu hal signifikan lainnya yang membuat perjalanan saya menjadi ibu berbeda dengan kebanyakan perempuan: usia ketika pertama kali hamil dan kemudian melahirkan. Menurut beberapa sumber, saya tampaknya masuk kategori elderly primigravida, perempuan yang pertama kali hamil di usia 35 tahun ke atas.

Saya berumur 40 tahun ketika dinyatakan hamil. Dan Bear lahir hanya beberapa bulan sebelum ulang tahun saya yang ke-41. Teman-teman seangkatan, laki-laki atau perempuan, umumnya punya anak usia sekolah/kuliah, tak ada lagi anak kecil apalagi bayi di rumah mereka.

Hal ini kadang menciptakan pemisah topik pembicaraan ketika saya dan teman-teman berkumpul karena orientasinya memang sudah berbeda. Saya tak terlalu tertarik dengan topik sekolah anak, kumpulan orang tua murid, dan lain sebagainya. Mereka pun tak terlalu berminat berbicara tentang bayi selain menanyakan hal standar seperti “Bear sudah bisa apa.?” misalnya.

Kadang saya berkumpul juga dengan perempuan yang punya anak seumuran Bear, tapi mereka itu sebagian besar sekitar 10-20 tahun lebih muda daripada saya. Istilahnya sudah beda dekade generasi. Saya generasi New Kids On The Block, mereka generasi One Direction. Secara umum saya bisa nyambung dengan mereka ini, hanya saja kelompok Mahmud Abas (mamah muda anak baru satu) tersebut emosinya masih sering labil, sehingga cenderung drama queen, lelah jiwa juga berinteraksi dengan kelompok ini. Eh.., tapi ini yang saya temui saja ya.. Saya yakin banyak juga ibu muda berjiwa matang dan dewasa di luar sana.

Jadi bagaimana..? Dengan siapa akhirnya saya biasa hangout atau playdate urusan emak-emak..? Ya dengan siapa saja yang jadwalnya cocok..hehehe.. Soal topik pembicaraan.., anggap saja otak saya bisa diatur ulang, bisa mode NKOTB atau OneD… Toh kumpul-kumpul kan hanya sesekali..

Nah.., karena urusan umur dan elderly primigravida ini, saya jadi sering berandai-andai. Seandainya saya punya anak pertama kali itu di usia 20-an, apakah akan ada bedanya? Entahlah.., tapi mari kita kilas balik ke masa lampau..

Dua puluh tahun yang lalu saya sedang dalam masa peralihan dari anak kuliahan ke kelas pekerja. Saya sedang berjuang untuk mandiri. Hal yang tidak mudah terutama karena kondisi Indonesia saat itu (1997-1998) sedang dalam krisis ekonomi parah yang kemudian diikuti kekacauan politik dan berujung lengsernya presiden saat itu. Sebagai gambaran betapa parahnya krisis ekonomi tersebut: hari Senin harga sebungkus mi instan masih Rp 250, hari Selasa berubah jadi Rp 1,250. Kurs 1 dolar Amerika berubah dari Rp 2,500 menjadi Rp 17,000 dalam waktu kurang dari 1 bulan. Orang tua saya harus negosiasi ulang jadwal cicilan rumah ke bank karena di tahun 1997 itu entah kenapa gaji mereka tak pernah cukup lagi untuk membayar sekian banyak tagihan.

Saya sendiri secara emosional dan finansial sangat terpengaruh dengan kondisi ini. Saya terpuruk karena meski berhasil lulus cum laude dariuniversitas negeri ternama, momen kelulusan saya disambut pergantian suhu politik besar-besaran. Benar-benar masa depan suram. Perusahaan banyak yang gulung tikar. Hari wisuda saya hanya beberapa hari setelah kerusuhan tahun 1998, sehingga di luar gedung tempat wisuda banyak aparat keamanan bersenjata lengkap yang menjaga.

Jadi, melihat paparan di atas, tanpa bermaksud pesimis, sulit rasanya membayangkan saya menjadi ibu dalam kondisi seperti itu.

Lalu bagaimana jika saya menjadi ibu di usia 30an..? Saat itu lagi-lagi saya sedang dalam masa peralihan.., ada di persimpangan antara terus bertahan dengan pekerjaan yang bikin lelah jiwa raga dengan gaji besar tapi saya nyaris tak punya kehidupan pribadi (baca: jomblo melulu..hahaha), atau cari pekerjaan lain yang lebih “santai” dengan gaji “gitu deh..” tapi saya bakal punya banyak waktu luang.. Perlu dicatat, faktor penghasilan sangat penting bagi saya karena saat itu saya juga salah satu tulang punggung keluarga.

Melihat kilas balik usia 30an ini, saya rasa saya akan baik-baik saja jika jadi ibu di masa itu. Urusan finasial sudah OK, masih suka labil bin galau tapi tak separah waktu umur 20an.. Masalahnya, bagaimana bisa jadi ibu sementara statusnya lebih sering “single” daripada “in relationship”..hahaha.. Saya juga tak terpikir adopsi saat itu. Mungkin karena tak lazim seorang perempuan lajang punya anak adopsi.

Lalu saya pun berdoa, berharap, berdoa lagi, berharap lagi.., agar dipertemukan dengan pekerjaan yang cocok untuk mencari jodoh sekaligus gajinya masih cukup buat jadi tulang punggung keluarga.. Alhamdulillah dikabulkan..

Singkat cerita, terbanglah saya ke Kalimantan Timur, di mana saya bertemu M pertama kalinya. Dari situ cerita berlanjut.., dan berlanjut.., dan berlanjut sampai datanglah Bear ke dalam kehidupan kami..

Lalu bagaimana rasanya jadi ibu pertama kali di usia 40an..? Ya seru-seru saja buat saya mah.. Lagipula saya tak pernah mengalami jadi ibu pertama kali di usia selain 40an itu.. Tapi koq cape banget ya..hahaha.. Eh ini serius loh, dari sekian banyak peran dalam kehidupan yang pernah dijalani, bagi saya menjadi ibu ini yang paling melelahkan jiwa raga. Sebagai gambaran, dalam pekerjaan, saya pernah menangani divisi yang salah satu tugasnya adalah menyediakan makan siang dan/atau malam untuk 9000 karyawan setiap hari. Itu melelahkan tapi tidak secape menjadi ibu.

Sering saya bertanya-tanya, kenapa cape sekali ya jadi ibu itu.. Faktor umur kah..(ya iya lah..hahaha) Apa karena saya tak punya pekerja rumah tangga dan bapaknya Bear jarang di rumah (dia orang lapangan sehingga selalu bertugas di lokasi tambang), sehingga saya sering harus mengurus semuanya sendirian..?

Setelah sekian lama berpikir, akhirnya mungkin ini jawabannya. Ini analisa (abal-abal) saya: Saya merasa cape lebih karena konsentrasi pikiran, bukan karena aktivitas fisik. Menjadi ibu artinya otak saya selalu dalam keadaan siaga dan waspada serta berkonsentrasi penuh 24 jam setiap hari, sepanjang tahun, seumur hidup saya, memikirkan keselamatan dan kesejahteraan Bear. Apakah dia akan menabrak meja lagi seperti minggu lalu..? Apakah dia akan terjungkal dari kursi seperti bulan lalu? Apa makannya akan lancar lagi seperti minggu lalu? Apa tidurnya nyenyak? Apakah dia kedinginan, kepanasan..? Dan seterusnya..dan seterusnya, tiada henti..

Sadar atau tidak sadar, alam bawah sadar saya selalu bekerja sepanjang itu terkait urusan Bear. Ini tak terjadi ketika saya menjalani peran sebagai pekerja misalnya.

Di luar urusan “cape”, saya merasa menjadi ibu pertama kali di usia 40an membuat saya lebih percaya diri karena sudah mengalami banyak hal dalam hidup. Saya tak terpengaruh hal-hal konyol seperti “mommies war”. Saya lebih percaya diri dan tegas menyatakan pada dunia bahwa “saya tahu apa yang perlu saya lakukan” dalam hal mengurus anak dan menjadi orang tua. Saya dengan tegas menolak “di-bully” atau dihakimi atau bahkan disudutkan dalam hal menjadi “ibu yang baik”. Secara finansial juga lebih tenang karena tak begitu banyak yang perlu dikhawatirkan, dibandingkan saat berumur 20an misalnya.

Saya tidak bermaksud mengatakan pro atau kontra mengenai kapan baiknya menjadi ibu, bahkan untuk menjadi ibu atau tidak menjadi ibu sekalipun. Setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing. Ini murni pemikiran pribadi berdasarkan pengalaman pribadi.

Di atas segalanya, bagi saya menjadi ibu maknanya bukan sekedar urusan mengurus anak, tapi jauh lebih dalam dari itu. Ada manusia kecil yang hidupnya benar-benar bergantung pada kita. Entah itu ibu yang tinggal di rumah, ibu bekerja, atau apapun itu, begitu ada kehidupan lain yang bergantung pada kita, maka jiwa raga dan alam bawah sadar akan selalu “bekerja”.

Jadi demikianlah..

Akhir kata, Selamat Hari Ibu kepada semua ibu, atau siapapun yang menghormati ibu.. Untuk para ibu, selamat “bekerja” untuk anak-anak kita.. Tetap semangat..

24 thoughts on “Tentang menjadi ibu..

  1. Selamat hari ibu juga mba. Iya memang suka nggak nyambung kalau ketemu ibu2 beda usia. Itu juga terjadi kok pada kasus ibu2 yg brojol anak bungsu di usia 40. Ketara banget saat ngobrol2 jauh lebih nyambung dgn genk (ceile genk!🤣) ibu2 anak sulungnya. Lebih cool calm comfident. Sementara genk ibu2 anak bungsu masih apa ya… energik dan agak heboh. Kalau pengalamanku konsentrasi nggak bikin capek ya mbak. Yang bikin capek itu multitaskingnya saat harus beralih fokus dari kerjaan ini dan itu. Itu pentingnya dibayar me time hahahaha…

    Liked by 1 person

    • Tuh kan ada yg mirip dengan saya pengalamannya😄 (Terpaksa) multitasking juga lumayan pening buat saya yg cenderung “one thing at a time”.. Nah soal “me time” itu saya juga punya cerita tersendiri.. Kapan-kapan deh saya tulis.. Makasih sudah mampir.. 😊

      Like

  2. Selamat hari ibuuu ❤
    Saat kerusuhan 98, saya masih SMP dan saya mengakui betapa masa itu menyeramkan.
    Btw, salah satu bahan rumpian di grup inner circle, saat ini fase seumuran saya hamil anak ke2 atau ke3. Mereka yang hamil lagi setelah hamil pertama kami di usia 25-28thn, memang lebih berasa berat dibanding sebelumnya. Selain umur bertambah tentu beban juga lebih banyak dibanding dulu.
    Saya pun jenuh dengan mommies war, tapi yah suka gak suka kadang terjebak dan baper juga. Haha.

    Liked by 1 person

    • Makasih, Frany😊 Nah itulah dia maksud saya mengenai motherhood timing di tulisan ini.. Kapan pun punya anak dan berapa pun jumlahnya, semua ada plus minusnya.. Tinggal menyesuaikan dengan pilihan pribadi beserta situasi kondisi yg dipunya.. Menurutku mommies war itu meski judulnya ibu-ibu (orang dewasa) yg ngobrol, tapi ketika diskusi konstruktif berubah menjadi gesekan ego, maka yg tersisa tak ada bedanya dengan debat kusirnya anak TK tentang mainan siapa yg paling bagus..

      Like

  3. Awww manisnya tulisan Momma Bear 🙂 iya nih aku jg melahirkan B, kurang lebih barengan dgn murid2ku dulu lahiran anak pertama mereka. Mereka 8 thn lbh muda dr aku. Ngobrolnya masih nyambung sih, alhamdulillah. Cm gak kebayang aja klo ntr kami jadi wali murid di sekolah yg sama, trs mereka manggilnya tetep mstyka atau memtik, hahaha…

    Liked by 1 person

    • Hehehe😊 Makasih, Tika.. Atau aku panggil Memtik aja sekalian😄 Yah begitulah, rezeki orang itu kan memang ada tapi gak selalu sama.. Ada yg punya ini duluan, ada yg punya itu duluan, dll..

      Like

  4. saya jadi ibu tepat di usia 30,walo secara finansial msh kategori ya cukup aja ..tp ngerasa udah siap ambil langkah berkeluarga,jd ibu,secara mental jg lumayan,ga kebayang kl di usia awal 20an krn msh senang jalan:D jd ibu itu emang bener teh em..pikiran yg lbh byk kerja, saya tidur nyenyak bisa cepet bangun loh kl denger suara anak nangis-.-‘ kyknya apa otak ga tidur ya haha,kl jaman jd karyawan..tidur ya tidur pules sampe subuh…jd ibu? tidur tp pikiran ronda 24 jam:D lbh lelah pastinya, makanya mudik kemaren saya benar2 manfaatin me time sendirian sblm suami datang, anak2 sm keluarga terus…

    Liked by 1 person

    • Aku juga ngerasanya pas umur 30an itu siap berkeluarga, tapi ya jodohnya baru datang belakangan😉 Dan bener kan setelah jadi ibu, otak kita kayak waspada terus..😄bahkan lagi tidur pun bisa cepat bangun kalo denger anak nangis.. Dan itu memang melelahkan jiwa raga. Jadi menurutku punya “me time” itu terutama bagi ibu yg anaknya masih kecil akan sangat bermanfaat.. Pengertian me time sendiri kadang disalahpahami sebagai waktu bersenang-senang.. Padahal artinya lebih luas, seperti kamu contohnya, sekedar bisa tidur lelap tanpa terbangun tiba-tiba itu sudah “me time”..

      Like

  5. Mba Emmy aku udah nulis komen dari pas hari ibu ternyata belom ke-post donggg😂
    Allah maha baik mba, paling mengerti apa yang terbaik buat kita dan tau kapan waktu yang paling tepat untuk semuanya ya ga sih 😊

    Btw toss ah mba, 24/7 siaga dan waspada macem siskamling wakakaka, buat aku dikali 3 😥 nikmaaaat hehehe

    Liked by 1 person

  6. seneng mantengin pengalaman seorang ibu, gimana beratnya perjuangan dari sebelum hamil sampai udah punya anak. makanya suka gedeg sama orang yang bilang “oh ibu rumah tangga doang? kok ga kerja sih?” sok tau padahal ga semudah itu deh haduh.. dan kebanyakan yg ngomong yg masi blom menikah pula jadi kayak ga konkrit aja. semangat mba! semoga keluarganya sehat2 selalu dan bahagia!

    Liked by 1 person

    • Kenapa juga orang yg belum menikah itu komentarnya menyudutkan.. Iri kali ya karena belum ketemu jodoh😄 Tapi kadang ada juga ibu rumah tangga yg menyatakan dirinya sebagai “HANYA ibu rumah tangga”, kenapa mesti diawali dgn “hanya”, jadi seperti merendahkan perjuangan ibu rumah tangga atau ibu yg tidak bekerja kantoran..
      Anyway, amin dan makasih buat doanya.. Semoga kamu sekeluarga juga sehat dan bahagia selalu ya..😊

      Like

  7. Halo mba, salam kenal…..
    senasip deh, aku juga jadi ibu2 di usia “matang”wkwkwkw…. trus liat mahmud abas itu kok pada labil bin alay suka gemez sendiri, jadinya agak kurang cocok dan ujung2nya ga gaul hahaha…. bergaulnya sama adik aja yang memang punya anak seumuran dengan anakku, pdhal adik terpaut usianya 10 tahun.

    Like

    • Hai.., Devy.. Salam kenal juga.. Makasih udah mampir dan baca tulisan saya.. Ah senangnya ada yg senasib..hehehe.. Dan saya kira cuma saya aja yg ngerasa banyak mahmud abas yg alay.. Tapi mungkin kalo saya punya anaknya umur 20an bisa jadi alay juga..hahaha..

      Like

  8. Benar mba emmy, saya baru merasakan betapa lelah dan capeknya menjadi seorang ibu, saya merasa harus siaga 24jam, apalagi di tambah saya lagi hamil anak kedua, haduuu rasa capeknya double…

    tapi yaa jalanin aja, hepi–hepi aja lah… bahagia ketika melihat anak kita sehat dan tertawa becanda bersama kita 🙂

    Like

Leave a comment